Selasa, 14 April 2009


Menyelam di teluk Naam, Tual

LAPANG DADA

Ada seorang teman, satu kampung. Kebetulan sekarang dia masih kuliah, baru semester tiga di jurusan Biologi sebuah perguruan tinggi negeri di Jogja. Jarak yang lumayan jauh antara Tual dengan Jogja menyebabkan kami jarang ketemu. Akhirnya, email menjadi salah satu alternative komunikasi kami.

Baru saja, dia mengirimkan sebuah email ke saya. Dia cerita banyak tentang kuliahnya yang menurut dia banyak tugas dan memberatkan. Belum lagi jadwal praktikum yang padat dengan keharusan mengumpulkan laporan yang diburu deadline. Satu lagi, adanya pre-tes dan responsi praktikum yang menjadi momok bagi dia. Ujung-ujungnya, dia kirim email untuk cur-hat panjang lebar tentang beratnya kuliah di Biologi. Alih-alih kalimat silaturahim, justru yang tertulis adalah kalimat-kalimat keluhan dia. Membaca email dia, saya jadi teringat sebuah kisah tentang seorang pemuda dan kakeknya.

Adalah seorang pemuda yang hidup tinggal bersama kakeknya. Suatu ketika, sang pemuda meminta nasehat dari kakek, “Kek, apa nasehatmu untukku hari ini?”

Tanpa menjawab, kakek justru mengambil segelas air minum. “Coba rasakan air di gelas ini! Bagaimana rasanya?” perintah kakek. Sang pemuda segera meminum sedikit . “Rasanya hambar kek” jawab pemuda.

Setelah itu, sang kakek mengambil segenggam garam dan melarutkannya ke dalam segelas air tadi. “Baiklah, sekarang coba minum air gelas itu seteguk saja! Apa yang kau rasakan?”, tanya kakek.

“Airnya jadi asin sekali kek”, jawab pemuda.

Sang kakek tidak berkomentar, dia mengambil segenggam garam lagi, lalu mengajak pemuda itu berjalan menuju ke sebuah danau. Sesampainya di pinggir danau, sang kakek bertanya, “Menurutmu, bagaimana rasa air danau ini?”

“Karena ini danau air tawar, rasa airnya ya hambar kek”

Mendengar jawaban itu, sang kakek menaburkan segenggam garam ke air danau, sambil menggoyang-goyangkan salah satu tangannya ke dalam air, seolah-olah sedang melarutkan garam ke dalam air danau.

“Sekarang, rasakan air danau itu ini” Bagaimana? Apakah berubah jadi asin?”

Segera pemuda itu, mendekatkan dirinya ke pinggir danau, mengambil sedikit airnya, lalu mencicipinya. “Airnya tetap hambar kek, tidak berubah jadi asin” jawab pemuda.

"Itulah pelajaran kita hari ini", jawab kakek.

Ya, kita bisa belajar dari kisah tadi. Masalah yang kita hadapi dalam keseharian adalah ibarat segenggam garam. Jika berada di dalam segelas air, akan terasa asinnya. Tapi jika berada dalam air sedanau, tidak akan terasa asin sama sekali.

Artinya, ketika kita menghadapi sebuah masalah dengan hati yang sempit, maka apapun masalahnya (kecil sekalipun) akan terasa berat. Sebaliknya sebesar apapun masalahnya, kalau kita hadapi dengan hati yang lapang (lapang dada) maka akan terasa ringan..

So, kalau kita ingin hidup tenang bahagia, maka berlapang dada-lah, selapang-lapangnya.

Itulah kenapa Rasulullah pernah menyampaikan bahwa, kekayaan yang sejati bukan terletak pada seberapa banyak harta-jabatan-kedudukan yang kita miliki. Namun kekayaan yang sesungguhnya terletak pada hati kita...(Jundi)